Kluetrayanews.com, ALEPPO - Rambutnya suka dihias pita berwarna jambon. Bila tersenyum, baris giginya yang rumpang terlihat jelas. Gadis berusia tujuh tahun itu tinggal di Aleppo, Suriah, wilayah paling berkecamuk pada hari-hari terakhir.
Namanya, Bana al-Abed. Di Twitter, Bana terkenal lewat akun berlencana centang biru, @AlabedBana (298 ribu pengikut). Beberapa pesohor mengikutinya, termasuk J.K. Rowling, penulis seri novel Harry Potter.
Dia populer karena kerap berbagi kabar pilu soal konflik di Aleppo. Jurnalis Washington Post, Caitlin Gibson, menjuluki Bana sebagai "Anne Frank dalam Perang Sipil Suriah".
Bedanya, Bana menunjukkan kengerian akibat perang secara seketika (real time) melalui Twitter. Sedangkan Anne Frank menuturkan cerita kelam dari masa holokaus lewat buku harian.
Bana menulis seluruh kicauannya dalam kegagapan berbahasa Inggris. Dalam berkicau, dia didampingi ibunya, Fatemah (26), yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Tak jarang pula Fatemah meminjam akun Bana untuk mengirim kicauan.
"Saya sedang sakit. Saya tidak punya obat-obatan, rumah, air bersih. (Kondisi) ini bisa bikin saya mati, bahkan sebelum bom membunuhku," bunyi salah satu kicauan Bana. Kicauan itu disertai video yang menampilkan dirinya terbaring lesu di tempat tidur.
Dalam satu situasi genting di tengah perang, Bana juga pernah berkicau, "Kami tidak punya rumah sekarang. Saya menderita cedera ringan. Saya tidak tidur sejak kemarin, saya kelaparan. Saya ingin hidup. Saya tak ingin mati".
Sekitar tanggal 5-6 Desember 2016, Bana menghilang dari Twitter. Para pengikutnya khawatir. Demi mencari kabar sang gadis, khalayak internet menggemakan tagar #WhereIsBana.
Lebih-lebih, momen itu bertepatan dengan invasi pasukan pemerintah Suriah --yang disokong Rusia-- ke Aleppo Timur, wilayah tempat tinggal Bana.
Pada 6 Desember, Bana akhirnya berkabar. "Halo kawan, apa kabarmu? Saya baik-baik saja. Saya membaik (meski) tanpa obat-obatan, dengan banyak serangan bom (di sekitar). Saya merindukanmu."
Bana al-Abed, gadis tujuh tahun asal Aleppo. Kicauannya di Twitter kerap jadi rujukan untuk melongok konflik di Suriah. © @AlabedBana /Twitter.com
Rambutnya suka dihias pita berwarna jambon. Bila tersenyum, baris giginya yang rumpang terlihat jelas. Gadis berusia tujuh tahun itu tinggal di Aleppo, Suriah, wilayah paling berkecamuk pada hari-hari terakhir.
Namanya, Bana al-Abed. Di Twitter, Bana terkenal lewat akun berlencana centang biru, @AlabedBana (298 ribu pengikut). Beberapa pesohor mengikutinya, termasuk J.K. Rowling, penulis seri novel Harry Potter.
Dia populer karena kerap berbagi kabar pilu soal konflik di Aleppo. Jurnalis Washington Post, Caitlin Gibson, menjuluki Bana sebagai "Anne Frank dalam Perang Sipil Suriah".
Bedanya, Bana menunjukkan kengerian akibat perang secara seketika (real time) melalui Twitter. Sedangkan Anne Frank menuturkan cerita kelam dari masa holokaus lewat buku harian.
Bana menulis seluruh kicauannya dalam kegagapan berbahasa Inggris. Dalam berkicau, dia didampingi ibunya, Fatemah (26), yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Tak jarang pula Fatemah meminjam akun Bana untuk mengirim kicauan.
"Saya sedang sakit. Saya tidak punya obat-obatan, rumah, air bersih. (Kondisi) ini bisa bikin saya mati, bahkan sebelum bom membunuhku," bunyi salah satu kicauan Bana. Kicauan itu disertai video yang menampilkan dirinya terbaring lesu di tempat tidur.
Dalam satu situasi genting di tengah perang, Bana juga pernah berkicau, "Kami tidak punya rumah sekarang. Saya menderita cedera ringan. Saya tidak tidur sejak kemarin, saya kelaparan. Saya ingin hidup. Saya tak ingin mati".
Sekitar tanggal 5-6 Desember 2016, Bana menghilang dari Twitter. Para pengikutnya khawatir. Demi mencari kabar sang gadis, khalayak internet menggemakan tagar #WhereIsBana.
Lebih-lebih, momen itu bertepatan dengan invasi pasukan pemerintah Suriah --yang disokong Rusia-- ke Aleppo Timur, wilayah tempat tinggal Bana.
Pada 6 Desember, Bana akhirnya berkabar. "Halo kawan, apa kabarmu? Saya baik-baik saja. Saya membaik (meski) tanpa obat-obatan, dengan banyak serangan bom (di sekitar). Saya merindukanmu."
Kicauan-kicauan Bana memang menyentuh, setaraf dengan kepiluan kisah Alan Kurdi dan Omnar Daqneesh. Cerita mereka adalah potret derita anak-anak korban Perang Sipil Suriah, yang pecah sejak 2011.
Walau demikian, di tengah kabut media sosial --yang bikin tipis batasan fakta dan kabar bohong-- kehadiran akun Bana memicu pertanyaan dan keraguan sejumlah pihak.
Bahkan, ada tudingan bahwa orang tua Bana memanfaatkan anak mereka demi propaganda. Konon, ayah Bana adalah seorang militan yang terafiliasi dengan Al-Qaeda.
Ada pula yang menganggap akun Bana ditunggangi Amerika Serikat, dijadikan saluran propaganda anti pemerintah Suriah. Desas-desus lain menyebut akun Bana dikelola dari luar Aleppo.
Sebenarnya, melalui pencocokan peta satelit, New York Times telah memastikan bahwa sejumlah konten kiriman Bana datang dari Aleppo Timur.
Akan tetapi, media kesohor asal AS itu juga kesulitan menjawab sejumlah pernyataan. Apakah seluruh konten Bana dikirim dari Aleppo? Berapa banyak kicauan Bana yang ditulis sendiri?
Walau banyak keraguan, media tetap menjadikan akun Bana --dan sumber media sosial lain-- sebagai jendela untuk melihat konflik di Suriah.
Pasalnya, catatan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), menyebut Suriah sebagai wilayah paling berbahaya bagi para pewarta. Alhasil, seperti ditulis Deutsche Welle, media sosial jadi sumber informasi utama dari Suriah, meski sulit untuk memverifikasi tiap cerita yang mencuat.
Ihwal verifikasi, menarik untuk menyimak pernyataan Sonia Khush, Direktur Save the Children Suriah --organisasi non-pemerintah yang fokus pada penegakan anak. Sonia mengaku kesulitan memverifikasi keaslian akun Bana. Namun, lebih kurang, dia bisa memastikan bahwa cerita Bana adalah kondisi umum di Suriah.
"Dalam kasus (akun) gadis ini, saya tidak tahu apakah itu asli atau palsu..." katanya. "Akan tetapi dia hidup sebagai seorang anak di Aleppo, itu sesuai dengan apa yang kita dengar. Ketakutan, karena suara-suara berbeda dari pesawat dan drone. Mereka (anak-anak dan warga sipil) ketakutan dan mengalami kesulitan tidur pada malam hari."
Pekan ini, ketakutan itu meningkat, seiring operasi militer besar-besaran yang digelar pasukan Suriah dan Rusia di Aleppo.
Dalam situasi terjepit itu, warga sipil, aktivis, dan kelompok pemberontak beramai-ramai mengirim "pesan terakhir" ke media sosial.
Misalnya, video dari aktivis, Lina al-Shami. "Manusia di seluruh dunia, jangan tidur! Anda bisa melakukan sesuatu, protes sekarang! Hentikan genosida," kata dia, sambil mengingatkan bahwa video itu mungkin jadi rekaman terakhirnya.
Bana al-Abed, gadis tujuh tahun asal Aleppo. Kicauannya di Twitter kerap jadi rujukan untuk melongok konflik di Suriah. © @AlabedBana /Twitter.com
Rambutnya suka dihias pita berwarna jambon. Bila tersenyum, baris giginya yang rumpang terlihat jelas. Gadis berusia tujuh tahun itu tinggal di Aleppo, Suriah, wilayah paling berkecamuk pada hari-hari terakhir.
Namanya, Bana al-Abed. Di Twitter, Bana terkenal lewat akun berlencana centang biru, @AlabedBana (298 ribu pengikut). Beberapa pesohor mengikutinya, termasuk J.K. Rowling, penulis seri novel Harry Potter.
Dia populer karena kerap berbagi kabar pilu soal konflik di Aleppo. Jurnalis Washington Post, Caitlin Gibson, menjuluki Bana sebagai "Anne Frank dalam Perang Sipil Suriah".
Bedanya, Bana menunjukkan kengerian akibat perang secara seketika (real time) melalui Twitter. Sedangkan Anne Frank menuturkan cerita kelam dari masa holokaus lewat buku harian.
Bana menulis seluruh kicauannya dalam kegagapan berbahasa Inggris. Dalam berkicau, dia didampingi ibunya, Fatemah (26), yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Tak jarang pula Fatemah meminjam akun Bana untuk mengirim kicauan.
"Saya sedang sakit. Saya tidak punya obat-obatan, rumah, air bersih. (Kondisi) ini bisa bikin saya mati, bahkan sebelum bom membunuhku," bunyi salah satu kicauan Bana. Kicauan itu disertai video yang menampilkan dirinya terbaring lesu di tempat tidur.
Dalam satu situasi genting di tengah perang, Bana juga pernah berkicau, "Kami tidak punya rumah sekarang. Saya menderita cedera ringan. Saya tidak tidur sejak kemarin, saya kelaparan. Saya ingin hidup. Saya tak ingin mati".
Sekitar tanggal 5-6 Desember 2016, Bana menghilang dari Twitter. Para pengikutnya khawatir. Demi mencari kabar sang gadis, khalayak internet menggemakan tagar #WhereIsBana.
Lebih-lebih, momen itu bertepatan dengan invasi pasukan pemerintah Suriah --yang disokong Rusia-- ke Aleppo Timur, wilayah tempat tinggal Bana.
Pada 6 Desember, Bana akhirnya berkabar. "Halo kawan, apa kabarmu? Saya baik-baik saja. Saya membaik (meski) tanpa obat-obatan, dengan banyak serangan bom (di sekitar). Saya merindukanmu."
Kicauan-kicauan Bana memang menyentuh, setaraf dengan kepiluan kisah Alan Kurdi dan Omnar Daqneesh. Cerita mereka adalah potret derita anak-anak korban Perang Sipil Suriah, yang pecah sejak 2011.
Walau demikian, di tengah kabut media sosial --yang bikin tipis batasan fakta dan kabar bohong-- kehadiran akun Bana memicu pertanyaan dan keraguan sejumlah pihak.
Bahkan, ada tudingan bahwa orang tua Bana memanfaatkan anak mereka demi propaganda. Konon, ayah Bana adalah seorang militan yang terafiliasi dengan Al-Qaeda.
Ada pula yang menganggap akun Bana ditunggangi Amerika Serikat, dijadikan saluran propaganda anti pemerintah Suriah. Desas-desus lain menyebut akun Bana dikelola dari luar Aleppo.
Sebenarnya, melalui pencocokan peta satelit, New York Times telah memastikan bahwa sejumlah konten kiriman Bana datang dari Aleppo Timur.
Akan tetapi, media kesohor asal AS itu juga kesulitan menjawab sejumlah pernyataan. Apakah seluruh konten Bana dikirim dari Aleppo? Berapa banyak kicauan Bana yang ditulis sendiri?
Walau banyak keraguan, media tetap menjadikan akun Bana --dan sumber media sosial lain-- sebagai jendela untuk melihat konflik di Suriah.
Pasalnya, catatan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), menyebut Suriah sebagai wilayah paling berbahaya bagi para pewarta. Alhasil, seperti ditulis Deutsche Welle, media sosial jadi sumber informasi utama dari Suriah, meski sulit untuk memverifikasi tiap cerita yang mencuat.
Ihwal verifikasi, menarik untuk menyimak pernyataan Sonia Khush, Direktur Save the Children Suriah --organisasi non-pemerintah yang fokus pada penegakan anak. Sonia mengaku kesulitan memverifikasi keaslian akun Bana. Namun, lebih kurang, dia bisa memastikan bahwa cerita Bana adalah kondisi umum di Suriah.
"Dalam kasus (akun) gadis ini, saya tidak tahu apakah itu asli atau palsu..." katanya. "Akan tetapi dia hidup sebagai seorang anak di Aleppo, itu sesuai dengan apa yang kita dengar. Ketakutan, karena suara-suara berbeda dari pesawat dan drone. Mereka (anak-anak dan warga sipil) ketakutan dan mengalami kesulitan tidur pada malam hari."
Pekan ini, ketakutan itu meningkat, seiring operasi militer besar-besaran yang digelar pasukan Suriah dan Rusia di Aleppo.
Dalam situasi terjepit itu, warga sipil, aktivis, dan kelompok pemberontak beramai-ramai mengirim "pesan terakhir" ke media sosial.
Misalnya, video dari aktivis, Lina al-Shami. "Manusia di seluruh dunia, jangan tidur! Anda bisa melakukan sesuatu, protes sekarang! Hentikan genosida," kata dia, sambil mengingatkan bahwa video itu mungkin jadi rekaman terakhirnya.
Bana pun ikut mengirim "pesan terakhir". "Namaku Bana. Saya berusia 7 tahun. Saya berbicara kepada (publik) dunia dari Timur #Aleppo. Ini adalah saat terakhir saya baik hidup atau mati," tulisnya.
Sumber : beritagar.id
Dia populer karena kerap berbagi kabar pilu soal konflik di Aleppo. Jurnalis Washington Post, Caitlin Gibson, menjuluki Bana sebagai "Anne Frank dalam Perang Sipil Suriah".
Bedanya, Bana menunjukkan kengerian akibat perang secara seketika (real time) melalui Twitter. Sedangkan Anne Frank menuturkan cerita kelam dari masa holokaus lewat buku harian.
Bana menulis seluruh kicauannya dalam kegagapan berbahasa Inggris. Dalam berkicau, dia didampingi ibunya, Fatemah (26), yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Tak jarang pula Fatemah meminjam akun Bana untuk mengirim kicauan.
"Saya sedang sakit. Saya tidak punya obat-obatan, rumah, air bersih. (Kondisi) ini bisa bikin saya mati, bahkan sebelum bom membunuhku," bunyi salah satu kicauan Bana. Kicauan itu disertai video yang menampilkan dirinya terbaring lesu di tempat tidur.
Dalam satu situasi genting di tengah perang, Bana juga pernah berkicau, "Kami tidak punya rumah sekarang. Saya menderita cedera ringan. Saya tidak tidur sejak kemarin, saya kelaparan. Saya ingin hidup. Saya tak ingin mati".
Sekitar tanggal 5-6 Desember 2016, Bana menghilang dari Twitter. Para pengikutnya khawatir. Demi mencari kabar sang gadis, khalayak internet menggemakan tagar #WhereIsBana.
Lebih-lebih, momen itu bertepatan dengan invasi pasukan pemerintah Suriah --yang disokong Rusia-- ke Aleppo Timur, wilayah tempat tinggal Bana.
Pada 6 Desember, Bana akhirnya berkabar. "Halo kawan, apa kabarmu? Saya baik-baik saja. Saya membaik (meski) tanpa obat-obatan, dengan banyak serangan bom (di sekitar). Saya merindukanmu."
Bana al-Abed, gadis tujuh tahun asal Aleppo. Kicauannya di Twitter kerap jadi rujukan untuk melongok konflik di Suriah. © @AlabedBana /Twitter.com
Rambutnya suka dihias pita berwarna jambon. Bila tersenyum, baris giginya yang rumpang terlihat jelas. Gadis berusia tujuh tahun itu tinggal di Aleppo, Suriah, wilayah paling berkecamuk pada hari-hari terakhir.
Namanya, Bana al-Abed. Di Twitter, Bana terkenal lewat akun berlencana centang biru, @AlabedBana (298 ribu pengikut). Beberapa pesohor mengikutinya, termasuk J.K. Rowling, penulis seri novel Harry Potter.
Dia populer karena kerap berbagi kabar pilu soal konflik di Aleppo. Jurnalis Washington Post, Caitlin Gibson, menjuluki Bana sebagai "Anne Frank dalam Perang Sipil Suriah".
Bedanya, Bana menunjukkan kengerian akibat perang secara seketika (real time) melalui Twitter. Sedangkan Anne Frank menuturkan cerita kelam dari masa holokaus lewat buku harian.
Bana menulis seluruh kicauannya dalam kegagapan berbahasa Inggris. Dalam berkicau, dia didampingi ibunya, Fatemah (26), yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Tak jarang pula Fatemah meminjam akun Bana untuk mengirim kicauan.
"Saya sedang sakit. Saya tidak punya obat-obatan, rumah, air bersih. (Kondisi) ini bisa bikin saya mati, bahkan sebelum bom membunuhku," bunyi salah satu kicauan Bana. Kicauan itu disertai video yang menampilkan dirinya terbaring lesu di tempat tidur.
Dalam satu situasi genting di tengah perang, Bana juga pernah berkicau, "Kami tidak punya rumah sekarang. Saya menderita cedera ringan. Saya tidak tidur sejak kemarin, saya kelaparan. Saya ingin hidup. Saya tak ingin mati".
Sekitar tanggal 5-6 Desember 2016, Bana menghilang dari Twitter. Para pengikutnya khawatir. Demi mencari kabar sang gadis, khalayak internet menggemakan tagar #WhereIsBana.
Lebih-lebih, momen itu bertepatan dengan invasi pasukan pemerintah Suriah --yang disokong Rusia-- ke Aleppo Timur, wilayah tempat tinggal Bana.
Pada 6 Desember, Bana akhirnya berkabar. "Halo kawan, apa kabarmu? Saya baik-baik saja. Saya membaik (meski) tanpa obat-obatan, dengan banyak serangan bom (di sekitar). Saya merindukanmu."
Kicauan-kicauan Bana memang menyentuh, setaraf dengan kepiluan kisah Alan Kurdi dan Omnar Daqneesh. Cerita mereka adalah potret derita anak-anak korban Perang Sipil Suriah, yang pecah sejak 2011.
Walau demikian, di tengah kabut media sosial --yang bikin tipis batasan fakta dan kabar bohong-- kehadiran akun Bana memicu pertanyaan dan keraguan sejumlah pihak.
Bahkan, ada tudingan bahwa orang tua Bana memanfaatkan anak mereka demi propaganda. Konon, ayah Bana adalah seorang militan yang terafiliasi dengan Al-Qaeda.
Ada pula yang menganggap akun Bana ditunggangi Amerika Serikat, dijadikan saluran propaganda anti pemerintah Suriah. Desas-desus lain menyebut akun Bana dikelola dari luar Aleppo.
Sebenarnya, melalui pencocokan peta satelit, New York Times telah memastikan bahwa sejumlah konten kiriman Bana datang dari Aleppo Timur.
Akan tetapi, media kesohor asal AS itu juga kesulitan menjawab sejumlah pernyataan. Apakah seluruh konten Bana dikirim dari Aleppo? Berapa banyak kicauan Bana yang ditulis sendiri?
Walau banyak keraguan, media tetap menjadikan akun Bana --dan sumber media sosial lain-- sebagai jendela untuk melihat konflik di Suriah.
Pasalnya, catatan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), menyebut Suriah sebagai wilayah paling berbahaya bagi para pewarta. Alhasil, seperti ditulis Deutsche Welle, media sosial jadi sumber informasi utama dari Suriah, meski sulit untuk memverifikasi tiap cerita yang mencuat.
Ihwal verifikasi, menarik untuk menyimak pernyataan Sonia Khush, Direktur Save the Children Suriah --organisasi non-pemerintah yang fokus pada penegakan anak. Sonia mengaku kesulitan memverifikasi keaslian akun Bana. Namun, lebih kurang, dia bisa memastikan bahwa cerita Bana adalah kondisi umum di Suriah.
"Dalam kasus (akun) gadis ini, saya tidak tahu apakah itu asli atau palsu..." katanya. "Akan tetapi dia hidup sebagai seorang anak di Aleppo, itu sesuai dengan apa yang kita dengar. Ketakutan, karena suara-suara berbeda dari pesawat dan drone. Mereka (anak-anak dan warga sipil) ketakutan dan mengalami kesulitan tidur pada malam hari."
Pekan ini, ketakutan itu meningkat, seiring operasi militer besar-besaran yang digelar pasukan Suriah dan Rusia di Aleppo.
Dalam situasi terjepit itu, warga sipil, aktivis, dan kelompok pemberontak beramai-ramai mengirim "pesan terakhir" ke media sosial.
Misalnya, video dari aktivis, Lina al-Shami. "Manusia di seluruh dunia, jangan tidur! Anda bisa melakukan sesuatu, protes sekarang! Hentikan genosida," kata dia, sambil mengingatkan bahwa video itu mungkin jadi rekaman terakhirnya.
Bana al-Abed, gadis tujuh tahun asal Aleppo. Kicauannya di Twitter kerap jadi rujukan untuk melongok konflik di Suriah. © @AlabedBana /Twitter.com
Rambutnya suka dihias pita berwarna jambon. Bila tersenyum, baris giginya yang rumpang terlihat jelas. Gadis berusia tujuh tahun itu tinggal di Aleppo, Suriah, wilayah paling berkecamuk pada hari-hari terakhir.
Namanya, Bana al-Abed. Di Twitter, Bana terkenal lewat akun berlencana centang biru, @AlabedBana (298 ribu pengikut). Beberapa pesohor mengikutinya, termasuk J.K. Rowling, penulis seri novel Harry Potter.
Dia populer karena kerap berbagi kabar pilu soal konflik di Aleppo. Jurnalis Washington Post, Caitlin Gibson, menjuluki Bana sebagai "Anne Frank dalam Perang Sipil Suriah".
Bedanya, Bana menunjukkan kengerian akibat perang secara seketika (real time) melalui Twitter. Sedangkan Anne Frank menuturkan cerita kelam dari masa holokaus lewat buku harian.
Bana menulis seluruh kicauannya dalam kegagapan berbahasa Inggris. Dalam berkicau, dia didampingi ibunya, Fatemah (26), yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Tak jarang pula Fatemah meminjam akun Bana untuk mengirim kicauan.
"Saya sedang sakit. Saya tidak punya obat-obatan, rumah, air bersih. (Kondisi) ini bisa bikin saya mati, bahkan sebelum bom membunuhku," bunyi salah satu kicauan Bana. Kicauan itu disertai video yang menampilkan dirinya terbaring lesu di tempat tidur.
Dalam satu situasi genting di tengah perang, Bana juga pernah berkicau, "Kami tidak punya rumah sekarang. Saya menderita cedera ringan. Saya tidak tidur sejak kemarin, saya kelaparan. Saya ingin hidup. Saya tak ingin mati".
Sekitar tanggal 5-6 Desember 2016, Bana menghilang dari Twitter. Para pengikutnya khawatir. Demi mencari kabar sang gadis, khalayak internet menggemakan tagar #WhereIsBana.
Lebih-lebih, momen itu bertepatan dengan invasi pasukan pemerintah Suriah --yang disokong Rusia-- ke Aleppo Timur, wilayah tempat tinggal Bana.
Pada 6 Desember, Bana akhirnya berkabar. "Halo kawan, apa kabarmu? Saya baik-baik saja. Saya membaik (meski) tanpa obat-obatan, dengan banyak serangan bom (di sekitar). Saya merindukanmu."
Kicauan-kicauan Bana memang menyentuh, setaraf dengan kepiluan kisah Alan Kurdi dan Omnar Daqneesh. Cerita mereka adalah potret derita anak-anak korban Perang Sipil Suriah, yang pecah sejak 2011.
Walau demikian, di tengah kabut media sosial --yang bikin tipis batasan fakta dan kabar bohong-- kehadiran akun Bana memicu pertanyaan dan keraguan sejumlah pihak.
Bahkan, ada tudingan bahwa orang tua Bana memanfaatkan anak mereka demi propaganda. Konon, ayah Bana adalah seorang militan yang terafiliasi dengan Al-Qaeda.
Ada pula yang menganggap akun Bana ditunggangi Amerika Serikat, dijadikan saluran propaganda anti pemerintah Suriah. Desas-desus lain menyebut akun Bana dikelola dari luar Aleppo.
Sebenarnya, melalui pencocokan peta satelit, New York Times telah memastikan bahwa sejumlah konten kiriman Bana datang dari Aleppo Timur.
Akan tetapi, media kesohor asal AS itu juga kesulitan menjawab sejumlah pernyataan. Apakah seluruh konten Bana dikirim dari Aleppo? Berapa banyak kicauan Bana yang ditulis sendiri?
Walau banyak keraguan, media tetap menjadikan akun Bana --dan sumber media sosial lain-- sebagai jendela untuk melihat konflik di Suriah.
Pasalnya, catatan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), menyebut Suriah sebagai wilayah paling berbahaya bagi para pewarta. Alhasil, seperti ditulis Deutsche Welle, media sosial jadi sumber informasi utama dari Suriah, meski sulit untuk memverifikasi tiap cerita yang mencuat.
Ihwal verifikasi, menarik untuk menyimak pernyataan Sonia Khush, Direktur Save the Children Suriah --organisasi non-pemerintah yang fokus pada penegakan anak. Sonia mengaku kesulitan memverifikasi keaslian akun Bana. Namun, lebih kurang, dia bisa memastikan bahwa cerita Bana adalah kondisi umum di Suriah.
"Dalam kasus (akun) gadis ini, saya tidak tahu apakah itu asli atau palsu..." katanya. "Akan tetapi dia hidup sebagai seorang anak di Aleppo, itu sesuai dengan apa yang kita dengar. Ketakutan, karena suara-suara berbeda dari pesawat dan drone. Mereka (anak-anak dan warga sipil) ketakutan dan mengalami kesulitan tidur pada malam hari."
Pekan ini, ketakutan itu meningkat, seiring operasi militer besar-besaran yang digelar pasukan Suriah dan Rusia di Aleppo.
Dalam situasi terjepit itu, warga sipil, aktivis, dan kelompok pemberontak beramai-ramai mengirim "pesan terakhir" ke media sosial.
Misalnya, video dari aktivis, Lina al-Shami. "Manusia di seluruh dunia, jangan tidur! Anda bisa melakukan sesuatu, protes sekarang! Hentikan genosida," kata dia, sambil mengingatkan bahwa video itu mungkin jadi rekaman terakhirnya.
Bana pun ikut mengirim "pesan terakhir". "Namaku Bana. Saya berusia 7 tahun. Saya berbicara kepada (publik) dunia dari Timur #Aleppo. Ini adalah saat terakhir saya baik hidup atau mati," tulisnya.
Sumber : beritagar.id
0 komentar:
Post a Comment