Kluetrayanews.com - Setiap daerah mempunyai tradisi dan budayanya sendiri. Tak terkecuali dengan Aceh Selatan. Banyak hal baru yang saya temui ditempat ini, terlebih masalah budaya dan adat istiadatnya. Ada yang mirip ritualnya tetapi beda namanya, bahkan ada yang berbeda sama sekali. Sebagai contoh hari tolak bala.
Besok pagi, Rabu 30 November 2016, kalau kota lainnya sedang sibuk dengan Pilkada serentak, di aceh selatan justru serasa hari keluarga. Aceh salah satu daerah khusus keistimewaan sehingga tak melaksanakan Pilkada.
Kegiatan ini bukan piknik, melainkan tradisi "makmegang", sebuah tradisi tolak bala warga aceh. Tradisi ini jatuh pada hari rabu terakhir dibulan sapar. Kalau dijawa disebut "rabu pungkasan". Teungku (Kyai) memimpin doa yang dilaksanakan di pinggir pantai karena kebetulan makam "sesepuh” warga Lhok Aman Kecamatan Meukek berada di pinggir pantai.
Acara doa pada tradisi ini adalah dilakukan oleh teungku, tokoh agama dan pemangku adat setempat, ada juga sebagian warga yang mengikuti acara doa. Sehingga, Warga desa atau biasa di sebut Gampong silih berganti datang ke pinggir pasie (pantai) karena tidak terikat harus wajib mengikuti prosesi ritual doa.
Ritual-ritual di Aceh sangat beragam salah satunya adalah ritual tolak bala yang telah begitu melekat di masyarakat Aceh. Di berbagai kawasan di Aceh banyak mengadakan ritual tolak bala ini tapi cara mengadakan ritual ini berbeda-beda di kawasan Aceh yang lainnya.
Upacara tolak bala ini mempunyai latar belakang yang berbeda dengan upacara-upacara lainnya, bahkan dapat dikatakan sangat bertolak belakang. Sebab sebagian upacara di Aceh adalah dilatarbelakangi ungkapan rasa syukur kepada ALLAH SWT.
Karena sebagai manusia kita tidak ada yang sempurana dan banyak melakukan kesalahan baik itu disadari ataupun tidak. Apabila hal ini terus berlanjut, maka Tuhan pun sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara, salah satunya adalah menimpa manusia ini dengan berbagai musibah. Maka dari itu dilaksanakannya upacara tolak bala untuk menghindari dari berbagai musibah.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana lahirnya tulak bala?
2. Bagaimana tradisi tolak bala?
3. Bagaimana perkembangan tolak bala dalam masyarakat?
Lahirnya Tolak Bala
Sebagai manusia, kadang kala kita bisa lupa diri, sehingga dengan seenaknya baik disadari maupun tidak manusia itu telah berbuat bathil. Apabila hal yang demikian terus berlanjut, maka Tuhan pun sering memperingatkan manusia itu dengan berbagai bentuk dan cara. Baik itu musibah penyakit, kebakaran besar, angin kencang, air bah dan kemarau berkepanjangan. Apabila hal itu telah menimpa dan tidak bisa dihindari maka jalan satu-satunya adalah berdoa kepada Tuhan dan memohon ampun maka diadakanlah kenduri tulak bala ini. Selain itu, kenduri tulak bala tersebut adalah dianalogikan dari kisah terdamparnya Kapal Nabi Nuh a.s pada bukit Kaf.
Sebagian anak anak asik bermain di pantai pada saat makmegang.
Merunut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempo doeloe, bahwa “Uroe Rabu Abeeh” memang identik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi “tulak bala” yang dirayakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar.
Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seum”. Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi.
Bulan safar adalah salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai “bulan panas” atau “buleun seum”. Bulan safar bagi sebagian masyarakat di Aceh Barat-Selatan diidentikkan dengan bulan “turun bala” dari sang pencipta ke bumi.
Tradisi Tolak Bala
Setiap mau melaksanakan ritual tolak bala, Perangkat Adat dan Hukum gampong melakukan musyawarah, ini dilakukan hanya untuk formalitas saja. Prosesi tolak bala dilakukan dengan cara berdoa bersama-sama pada malam hari di meunasah, dayah, dan mesjid. Pada siang hari seluruh masyarakat pergi ke sungai, pantai, ataupun pemandian dengan membawa bekal makanan, baik berupa kue timpan, pisang goreng, ketupat singkong, lemang maupun ketupat ketan (pulut).
Selain itu, juga mebawa “bu kulah” dan “eungkot punjot” yang sudah dibawa dari rumah masing-masing, makanan ini disimpan terlebih dahulu karna akan dimakan secara bersama-sama dan menunggu perintah dari teungku untuk memulai memakannya.
Setelah masyarakat berkumpul semua, maka ritual tolak bala dimulai dengan sekelompok laki-laki dewasa, yang dipimpin oleh Teungku Imum Cik membaca al Quran, sejak jam 10.00. Surat yang dibaca Al Baqarah (sapi betina), Al Kahfie (gua) dan Yasin. Dua surat pertama tidak dibaca seluruh surat, sekitar tiga sampai empat halaman.
Setelah selesai baca Surat Yasin, baru dilanjutkan dengan baca tahlil, namun sebelum tahlil ada sesaji khusus yang harus dihanyutkan ke sungai dengan rakit batang pisang yang dihias dengan daun kelapa muda (janur). Sesaji itu berupa kepala kerbau yang dipotong ditempat upacara, ayam warna putih, nasi putih dan kuning, gulai ayam, jeroan ayam hati dan rempela, kue apem, timpan, ketupat ketan, pisang goreng. Sesaji itu kemudian dibacakan doa yang dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala.
Tatkala teungku atau pemangku adat membasuhkan air tepung tawar ke mukanya, lalu ikatan daun itu pun dicelupkan ke air di sampan lalu dicipratkanlah ke kerumunan. Cipratan air itu pun menandai tepung tawar dan tolak bala. Orang pun ramai berebut daun dan air, ada yang membasuh muka, mengisi ke botol. Ada semacam keharusan untuk mengambil daun itu, untuk dibawa pulang dan digantungkan di atas pintu rumah. Bahkan ada yang menyimpan air tepung tawar itu, sampai berbulan-bulan.
Pada akhir prosesi Tulak Bala dilakukan doa bersama, kemudian kenduri berupa makan. Setelah itu dilakukan ritual mandi kembang dan wangi-wangian dari bunga yang terdapat di lingkungan mereka. Mereka bersama-sama dengan keluarga atau kerabat melakukan mandi bersama sebagai simbolisasi pembersihan diri dari “wujud bala” yang datang dengan membuang seluruh aura negatif dari fisik dan psikis dengan “membersihkannya” dari tubuh dan jiwa ke aliran sungai, laut, ataupun pemandian.
Perkembangan Tradisi Tolak Bala
Dalam perkembangan zaman ini banyak budaya berubah dengan tataran yang dulu karna mengikuti perkembangan masyarakat yang disesuaikan dengan zaman sekarang. Pada tataran kontemporer, tolak bala tidak lagi bermakna sakral namun sudah berwujud provan sebagai salah satu sarana peningkatan kesadaran rekreasi pada tataran lokal, terutama meningkatnya daya tarik wisatawan lokal terhadap tempat-tempat rekreasi yang ada di sana.
Selain itu, beberapa ritual yang dilakukan selama ritual tolak bala juga sudah tidak ada lagi misalnya menghanyutkan sesajen ke laut maupun sungai, dan tidak ada lagi hari libur khusus untuk memperingati hari tolak bala.
Prosesi tulak bala sudah mengalami diaspora dari aura religiusitas ke provan. Di mana saat ini tolak bala di pesisir Barat-Selatan Aceh telah bergeser menjadi ajang untuk berhura-hura dengan pacar atau sesama saudara atau tetangga dengan motif yang berbeda-beda dari esensi kedalaman pemaknaan dari tolak bala itu sendiri.
Kesimpulan
Dalam tradisi masyarakat di Aceh Selatan, perayaan Uroe Rabu Abeeh atau perayaan “tulak bala” dilakukan setiap tahun pada akhir bulan Safar. Uroe Rabu Abeeh biasanya dilaksanakan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar yaitu salah satu bulan di dalam kalendar hijriah yang identik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurangbaik.
Prosesi “tulak bala” pada masa lalu dilakukan dengan cara upacara berdoa bersama-sama baik di meunasah, dayah, sungai, pantai, ataupun pemandian dengan dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala.
Dengan bekembangnya masyarakat, ritual tolak bala mengalami beberapa perubahan dimana ritual tolak bala yang dianggap sakral dulunya. Sekarang hanya sebagai hari rekreasi bagi keluarga dan hura-hura.
DAFTAR PUSTAKA
Sufi, Rusdi dkk. 2002. Adat dan Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NAD.
Goehang, Boelach (2010). Dilema Perayaan Uroe Rabu Abeeh Di Barat-Selatan Aceh. Dari http://plik-u.com/?p=805, 7 November 2011
Maulizar, Teuku (20011). Perayaan Tolak Bala. Dari http://www.m.zonakluet.com/berita112-tolak-bala.html, 7 November 2011
Azhar Muntasir, Identitas Budaya, Jeumla, No. 30 April-Juni 2009, Halaman 29.
0 komentar:
Post a Comment