KLUETRAYANEWS.COM - Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”.
Di daerah Nangroe Aceh Darussalam ini terdapat beberapa sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara sub etnis diatas, setiap etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku di indonesia. Diantaranya adalah Suku Kluet.
Di era milenial ini banyak sekali anak mudah bahkan orang tua yang tidak tahu atau tidak mengenal budaya daerah nya itu sendiri. Mungkin faktor zaman era moderen yang biasa kita sebut sekarang ini (era digital). Semua orang sudah lalai dengan ganget handphone nya masing-masing yang berada di generasi menunduk, sehingga jarang sekali membaca sejarah dan adat istiatat budaya yang berada di Aceh ini.
Di era milenial ini banyak sekali anak mudah bahkan orang tua yang tidak tahu atau tidak mengenal budaya daerah nya itu sendiri. Mungkin faktor zaman era moderen yang biasa kita sebut sekarang ini (era digital). Semua orang sudah lalai dengan ganget handphone nya masing-masing yang berada di generasi menunduk, sehingga jarang sekali membaca sejarah dan adat istiatat budaya yang berada di Aceh ini.
Tradisi Meusilek Upacara Peutron Tanoh Aneuk (Turun Tanah Anak)
Upacara turun tanah (Peutron Aneuk) atau istilah bahasa Kluet (Turun Bok Lawie) merupakan tradisi sakral bagi masyarakat Aceh khususnya etnis Kluet yang ada di Aceh Selatan. Digelar setelah anak dianggap cukup umur; genap 44 hari, tiga bulan bahkan lebih. Sebelum upacara digelar, si bayi pantang dibawa keluar rumah, kecuali dalam kondisi tertentu.
Dalam adat Kluet yang ada di Aceh Selatan, kalau ada anak turun ke tanah atau dengan kata istilah turun bok lawie (turun tanah), biasanya masyarakat di sini mengelar acara tradisi meusilek (silat).
Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau, lembu atau kambing 2 ekor untuk anak laki-laki dan 1 ekor untuk anak perempuan dengan istilah lain (Hakikah).
Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya untuk di adakan cara meusilek (silat). Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus sesuai adat yang ada di etnis Kluet.
Kemudian baru di serahkan kepada orang peusilat atau mesilek dengan dipangku di dada menggunakan kain yang di ikat, persis seperti orang mengendong bayi. Hal ini dilakukan oleh dua orang peusilat yang mana kedua orang ini memegang sembilah parang atau pedang.
Di sekeliling di tanam seperti batang pisang, pinang, tebu dan sebagainya. Pohon-pohon ini berpungsi ketika mereka meusilek (silat) menebang satu persatu batang tersebut. Sambil mengendong bayi mereka mengeluarkan jurus silat nya yang saling berhadapan. Setelah itu meusilek (silat) di hentikan untuk sementara, kemudian bayi di serahkan kepada orang tua atau adat di desa tersebut. Setelah di serahkan bayi tersebut, barulah mereka melanjutkan kembali silat nya lagi sampai selesai.
Proses setelah meusilek (silat) waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir atau sebagainya. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong.
Setelah itu bayi baru di bawa turun ke tanah kalau bahasa kami di Kluet turun bok lawie yang ada di mesjid atau meunasah-meunasah desa tersebut. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
0 komentar:
Post a Comment