KLUETRAYANEWS.COM - Kabupaten Aceh Selatan
dengan ibukotanya Tapaktuan merupakan salah satu kota sejarah di Provinsi Aceh.
Banyak situs budaya yang layak dijadikan objek wisata islami di daerah itu.
Sayangnya, semua terkesan ‘tenggelam’ atau hilang seiring waktu.
Tak hanya objek
wisata, sejumlah suku, bahasa, termasuk wilayah pun terkesan dilupakan. Sebut
saja di antaranya suku dan wilayah Kluet. Suku Kluet merupakan satu di antara
dua suku lainnya—Aceh dan Aneuk Jamee—yang hidup di wilayah Aceh Selatan. Suku
ini umumnya terdapat di wilayah Kluet Utara, Kluet Timur, Kluet Tengah, dan
Kluet Selatan.
SEJARAH KLUET
Menurut sejumlah
literatur, kajian sejarah Kluet sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Laut
Bangko (Bukhari RA, dkk., 2008:11). Laut Bangko dulunya merupakan sebuah danau
mini yang berlokasi di tengah hutan Taman Nasional Gunung Leuser, bagian barat,
yang berbatasan dengan Kecamatan Bakongan dan Kecamatan Kluet Timur, saat ini.
Dikisahkan bahwa
Kerajaan Laut Bangko ini pernah megah tempoe doeloe. Raja
yang terakhir yang sempat memimpin kerajaan tersebut, menurut Bukhari, dkk
(2008:12) bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal,
daerah ini tenggelam kala banjir besar melanda.
Penduduknya
kemudian berusaha mencari daratan baru, sebagain ke Tanah Batak, sebagian ke
Singkil, sebagian ada yang masih tetap pada lokasi semula dengan mencari
dataran tinggi yang baru. Dari sini kemudian timbul pendapat terjadinya
kemiripan bahasa antara bahasa Kluet dengan bahasa Batak, bahasa Alas, bahasa
Karo, dan bahasa Singkil.
Sumber sejarah
lisan (folklor) lainnya menyebutkan bahwa saat berkecamuk perang dahsyat di
Aceh, ada sebuah komunitas masyarakat kala itu yang terpecah-pecah akibat
menyelamatkan diri. Ada yang lari ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di
selatan Aceh, ada yang melarikan diri ke pedalaman-pedalaman lainnya dalam
wilayah yang sama. Yang berada di wilayah Chik Kilat Fajar kemudian membuka
komunitas sendiri, yaitu di kaki gunung Kalambaloh.
Sedangkan di wilayah
lainnya, juga membuat komunitas sendiri pula sehingga masih terdapat kemiripan
bahasa antara yang berada di wilayah selatan Aceh (Chik Kilat Fajar) dengan
beberapa wilayah lainnya seperti Singkil, dan Tanoh Alas, termasuk Sumatera
Utara.
Terlepas dari
sejarah yang sulit ditemukan kekonkretannya itu, wilayah Kluet tetap diakui
sebagai satu kesatuan dalam Kabupaten Aceh Selatan. Pengakuan ini sejak daerah
tingkat II Aceh Selatan masih tersebar hingga ke Singkil, Subulussalam, dan
Aceh Barat Daya. Hanya saja, mulanya Kluet masa itu dua wilayah saja, yakni
Kluet Utara dan Kluet Selatan. Kluet Utara beribukotakan Kotafajar dan Kluet
Selatan ibukotanya Kandang.
Seiring maraknya
gejolak pemekaran di Aceh, tepatnya sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus
dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun
pecah menjadi lima: Kluet Utara (Kotafajar), Kluet
Selatan (Kandang), Kluet Tengah (Menggamat), Kluet
Timur (Duriankawan), dan Kluet Barat (Pasieraja).
Ironis, pemekaran wilayah ini ternyata menimbulkan konflik baru di wilayah
Kluet. Pasieraja misalnya, karena tidak ada masyarakat Pasieraja yang berbahasa
ibu bahasa Kluet, orang-orang di sini terkesan tidak mengakui wilayahnya
sebagai wilayah Kluet. Bahkan, sempat tersebar isu, jika dipaksakan wilayah
Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat di sini akan minta wilayahnya
dimasukkan ke Kecamatan Tapaktuan saja. Karena itu, plang nama kantor camat
wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat
Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”. Singkatnya, pecah wilayah
Kluet, pecahkan pula masyarakatnya, kendati tidak sampai menimbulkan perang
berdarah.
ADAT
DAN BUDAYA
Sebenarnya, Kluet
memiliki adat dan budaya yang heterogen. Hal ini karena wilayah tersebut
didiami tiga suku: Kluet, Aceh, dan Aneuk Jamee.
Tentu saja ini kekayaan tersendiri bagi masyarakat Kluet jika mereka mau
bersatu-padu.
Namun, ternyata
keberagaman kebudayaan ini pula yang menyebabkan perpecahan di antara
masyarakat Kluet. Mereka yang berbahasa ibu bahasa Aceh seakan tidak mau
disebut sebagai orang Kluet. Sebaliknya, mereka yang berbahasa ibu bahasa Kluet
enggan disebut sebagai bagian dari Aceh. Inilah yang terjadi saat ini. Tidak
seperti zaman dahulu, semuanya bersatu dalam bingkai kerajaan kecil, Chik Kilat
Fajar.
Terlepas dari
perpecahan internal itu, Kluet memiliki sejumlah adat dan budaya yang masih
lestari. Adat dan budaya itu bertunas dan tumbuh dalam kearifan masyarakatnya
secara umum. Adat istiadat tersebut terus kontinyu turun temurun. Hal ini dapat
dilihat pada prosesi perkawinan, sunat rasul, kematian, pengobatan, dan
sebagainya. Bahkan, karena mata pencaharian masyarakat Kluet secara umum adalah
bertani, adat turun ke sawah pun dimiliki masyarakat di sana yang mirip pula
seperti adat meublang dalam kearifan
Aceh secara luas.
SASTRA TUTUR
Selain itu,
sejumlah sastra lisan pun masih hidup dan berkembang dalam komunitas ini. Sebut
saja kebiasaan bersyair saat pesta perkawinan.
Dikenal dua macam
syair dalam kearifan masyarakat Kluet: syair meubobo dan syair
meukato. Syair meubobo biasanya
digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Sedangkan syair
meukato, merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan
mempelai laki dan rombongan mempelai perempuan.
Syair meubobo juga kerap digunakan saat
melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup
dalam masyarakat Kluet hingga sekarang. Hanya saja, tidak semua orang dapat
memainkan kedua syair tersebut. Butuh kemahiran tersendiri untuk melantunkan. Pemain
syair ini serupa trobadur.
Kecuali itu,
sastra lisan yang juga masih berkembang dalam masyarakat Kluet hingga saat ini
adalah peribahasa. Peribahasa dalam bahasa Kluet disampaikan dengan dialek
masing-masing daerah. Saat ini ditemukan tiga dialek bahasa Kluet, yakni dialek
Menggamat, dialek Payadapur, dan dialek Krueng Kluet.
Dalam masyarakat
ini berlaku juga mitos-mitos semisal meurampot—disamun
makhluk halus. Namun demikian, nilai-nilai keislaman juga masih kokoh di sana,
di samping nilai gotong royong dan silaturrahmi. Karena itu, sangat disayangkan
jika daerah ini kemudian terkesan abai dari perhatian pemerintah. Apalagi, di
tengah kecamuk internal dalam masyarakat itu sendiri.
Harapan Baru
Terpilihnya
Husein Yusuf sebagai Bupati Aceh Selatan saat ini adalah harapan baru bagi
masyarakat Kluet. Hal ini karena Husein adalah putra Kluet. Akan tetapi,
sejumlah pesimistis Kluet akan terbangun juga mulai ditunjukkan oleh beberapa
masyarakat. Terbukti, dua tahun periode Husein-Daska, belum menunjukkan
perubahan apa-apa terhadap wilayah Kluet. Jalan masuk ke rumah bupati sendiri,
masih berlobang-lobang seperti sedia kala. Kluet pun akhirnya terkesan masih
tenggelam. Entah sampai bila. Idimo Kak Kluat, mbang nalot
sendah, pigan suang…[Herman RN, berasal dari Kluet]
Sumber : jkma-aceh.org
1 komentar:
kune caro mne lot tulisan tentang kluet aku mengkotko bo kluet raya news?
kno syaratno?
email: firmansyahputrakluet@mail.com
Post a Comment