Kluetrayanews.com, BANDA ACEH - Berdiri sejak 1915 silam, Museum Aceh menyimpan koleksi dari zaman pra sejarah hingga zaman sejarah.
Dari jejak Kerajaan Hindu hingga menjelma menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Setiap koleksi yang bertengger di dalamnya menuturkan kisahnya masing-masing.
Keberadaannnya telah melawat melintasi zaman.
Mengunjungi museum bisa menjadi salah satu jawaban atas pencarian jatidiri yang luntur atau bahkan hilang.
Terletak di Jalan Sultan Alaidin Mahmud Syah Nomor 12 Banda Aceh, Museum Aceh menyimpan koleksi berupa rumah adat, ruang pamer tetap, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), dan lonceng cakradonya.
Namun ada pemandangan berbeda tatkala Tribun Travel menyambangi Museum Aceh, Selasa (17/1/2017).
Di bawah rumah adat Aceh yang berbentuk rumah panggung, terdapat jejeran miniatur Masjid Raya Baiturrahman dari masa ke masa.
Rumah ibadah umat muslim itu menjadi spirit warga Aceh karena sudah melewati pembabakan sejarah dari zaman penjajahan, era kemerdekaan, dan menghadapi mahaduka bernama tsunami.
Masjid Raya Baiturrahman pun menjadi objek wisata reliji ‘wajib’ jika kamu berkunjung ke Aceh.
Selain miniatur Masjid Raya, terdapat juga alat bertani yang merupakan bagian dari rumah tradisional yaitu berupa jeungki (alat untuk menumnuk padi), geureubak (gerobak/ alat untuk mengangkut hasil pertanian), dan krong pade (alat untuk menyimpang hasil tani berupa padi).
Baik rumah adat, ruang pamer tetap, PDIA, dan lonceng cakradonya kesemuanya berada dalam satu komplek yang sama.
Namun, khusus bila ingin menengok koleksi rumah Aceh, pengunjung harus mengambil tiket dengan membayar Rp 3.000 per orang atau Rp 1.000 khusus bagi rombongan.
Sementara bagi anak-anak dikenakan Rp 2.000 per anak dan Warga Negara Asing (WNA) diberlakukan tarif yaitu Rp 5.000 untuk secarik tiket masuk.
Pengunjung bisa bertandang kemari setiap harinya, mulai pukul 8.30-16.00 WIB dan tutup khusus Hari Senin.
“Nggak pernah bosan ke Museum Aceh, koleksinya keren. Apalagi sekarang sudah dibenahi,” ujar seorang pengunjung lokal, Cut Mira.
Menuju lokasi
Aura tempo dulu langsung terasa tatkala kaki menginjak kawasan ini.
Museum Aceh berada di kawasan bekas tangsi militer Belanda Jalan Alaidin Mahmud Syah No 12, Banda Aceh.
Hanya terpaut beberapa meter dari pendapa gubernur.
Memasuki kawasan ini mata kita akan disuguhi pemandangan khas arsitektur bergaya kolonial.
Bangunan yang ada di situ dipisahkan oleh badan jalan dan Krueng Daroy atau kanal yang membelah kawasan Neusu.
Namun kini Museum Aceh terlihat semakin bersolek.
Terlihat keberadaan Landmark Museum Aceh menyambut pengunjung di sisi pintu gerbang museum.
Keberadaan lampu taman di sepanjang trotoar yang dilengkapi dengan bangku taman berupa batu terlihat menawan.
Kontras dengan bangunan di sekitarnya yang bergaya kolonial.
Sementara dari muka Jalan Alaidin Syah, landmark ‘Koetaradja’ dan ‘Kota Pusaka’ memperindah wajah kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya tersebut.
Di sisi Krueng Daroy yang merupakan kanal buatan, pepohanan hijau menawarkan keteduhan bagi pejalan yang melintasi trotoar.
Ya, museum tak selalu identik dengan segala sesuatu yang berbau tempo dulu.
Selain menambah koleksi, wajah Museum Aceh juga terlihat semakin berseri dengan sentuhan artistik. (*)
Sumber : aceh.tribunews.com
0 komentar:
Post a Comment