Kluetrayanews.com - “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan mengejutkan, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44).
Oleh Nuruzzahri
DEWASA ini, banyak dari umat Islam melupakan seruan Allah Swt, perintah Allah Swt ditinggalkan sementara larangan-Nya dilakukan. Melihat keadaan kita yang seperti ini ternyata Allah Swt membukakan pintu kesenangan selebar-lebarnya.
Sehingga lahirlah berbagai macam elektronik, seperti handphone yang bisa mendekatkan orang jauh jadi dekat, dan internet yang memudahkan kita dalam proses mengais-ngais ilmu pengetahuan.
Lahir dua benda di atas membuat kita bahagia kerena bisa memudahkan urusan-urusan yang sebelumnya sulit dilakukan. Celakanya, banyak di antara kita yang salah menggunakan dua benda tersebut sehingga menjadikannya semakin murka kepada Zat Yang Esa.
Seperti menyebarkan hoax (berita bohong) lewat handphone atau internet kepada orang lain. Inilah bentuk ancaman Allah yang disebutkan dalam ayat di atas; membuka pintu kesenangan, bukan untuk membuat mereka bahagia, tapi untuk membinasakannya. Penyebar hoax suatu saat akan binasa, sirna amal kabaikan atau binasa jiwanya.
Menakar berita
Islam merupakan sebuah agama yang sangat gencar memerangi hoax di dunia. Sejak 14 abad silam, Islam telah mengajarkan umat manusia tentang cara menakar sebuah berita, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujarat: 6).
Perihal kezaliman akibat hoax tersebut dapat dilihat pada peristiwa yang menimpakan kesedihan mendalam pada diri Rasulullah saw, yang disebut dengan hadistul ifki. Saat pasukan Muslim bergegas-geas pulang dari perang Bani Musthaliq, Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah keluar dari haudaj (rumah kecil yang dipasang atas punggung unta) untuk qadha hajat.
Selesai buang hajat, beliau kembali bergabung dengan rombongan. Saat itu beliau meraba kalung di lehernya, ternyata sudah tidak ada lagi. Lalu ia kembali ke tempat buang hajatnya untuk mencari kalung itu, dan akhirnya ditemukan.
Sementara orang-orang yang bertugas melayani unta tunggangan Aisyah sudah siap-siap untuk berangkat saat beliau sibuk mencari kalungnya yang hilang. Mereka menduga Aisyah berada dalam haudaj. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Aisyah tidak ada dalam haudaj. Akhirnya mereka berangkat, dan Aisyah tertinggal di tempat itu.
Ketika Aisyah kembali ke tempat itu, semua orang sudah berangkat. Kemudian beliau menyelimutinya dengan jilbab sembari berbaring di tanah, berharap apabila penjaga haudaj-nya kembali mencari Aisyah, dengan mudah ditemukan.
Tak lama kemudian, dari jarak beberapa meter terlihat seorang laki-laki yang juga ikut perang Bani Musthaliq, Shafwan bin Mua’tthal. Shafwan terakhir pulang, diduga ia bertugas pengontrol pasukan dari belakang.
Bertemulah Aisyah dengan Shafwan dalam suasana gelap itu. Shafwan merasa iba saat melihat Ummul Mukminin tinggal sendirian. Lalu ia merendahkan untanya menaiki Aisyah untuk diantarkan ke Nahri Ad-Dhahirah, tempat para pasukan beristirahat.
Peristiwa ini ternyata disaksikan oleh seorang laki-laki lain yang kerap berbohong di zaman Rasulullah saw, yakni Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Ubay yang dicap sebagai gembong munafik ini menyebarkan berita dusta (hoax) bahwa Aisyah selingkuh dengan Shafwan. Berita ini pun menyebar luas, hingga sebagian besar masyarakat pada saat itu percaya pada “kabar burung” yang ditiupkan gembong munafik itu. Bahkan Rasulullah saw sendiri hampir percaya dengan berita tersebut. Sehingga Beliau jarang berbicara dengan istrinya, Aisyah ra, selama satu bulan.
Lalu Allah Swt menjelaskan akar permasalahan itu serta mengungkapkan siapa yang bersalah, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang datang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kata bahwa berita bohong itu membawa akibat buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang akan mendapat hukuman dari dosa yang dibuatnya itu. Dan orang yang mengambil bagian terbesar akan mengambil bagian yang terbesar pula.
Mengapa setelah mendengar berita-berita bohong itu orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan tidak meletakkan sangka yang baik bagi dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa beritu bohong belaka?” (QS. An-Nur: 11-12).
Menunggu wahyu
Pasca tersebarnya berita bohong di atas, Rasulullah saw sebelum turun wahyu tidak mengatakan apa-apa kepada masyarakat bahwa Aisyah tidak bersalah, kecuali hanya menuturkan, “Hai, Aisyah! Aku telah mendengar tentang apa yang digunjingkan orang tentang dirimu.
Jika engkau tidak bersalah, maka Allah pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa, maka mintalah ampunan kepada Allah!” Padahal beliau seorang Rasul yang dipercayai manusia. Lantas apa gerangan yang membuat Nabi memilih diam sambil menunggu wahyu datang?
Syekh Muhammad Abdullah Diraz dalam An-Nabaul ‘Adhim berkata, ucapan Rasul di atas merupakan cetusan kata hatinya. Ia adalah ungkapan seorang yang tidak mengetahui alam ghaib dan ucapan orang yang jujur, yang tidak memperturutkan prasangka dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Setelah mengucapkan kalimat tersebut dan belum sempat beranjak dari tempat duduknya, turunlah awal surat An-Nur yang menjelaskan ketidakbersalahan Aisyah ra dan menyatakan kesuciannya.
Apakah kiranya yang menghalangi Nabi saw untuk menyatakan ketidakbersalahan Aisyah sejak hari pertama dan mengatakan sebagai wahyu dari langit, guna membantah para pendusta itu? Tetapi, dia tidak pernah punya niat untuk berdusta kepada manusia? Karena Rasul sangat takut pada janji Allah Swt dalam ayat di bawah ini;
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya. Sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al-Haaqqah: 44-47).
Seperti itulah sikap umat Islam yang perlu diteladani pada diri sosok manusia yang paling suci ini. Tidak mau mengungkapkan sesuatu yang tidak diketahuinya. Belaiau sangat takut menyebarkan berita dusta, karena dosanya akan dilipat ganda setiap berita itu disebarluaskan. Dan para penyebar beritu bohong ini pun digolongkan dalam golongan munafiqin, sebagaimana sabda Nabi saw, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.” (HR: Bukhari).
Semoga nikmat handphone dan internet yang dianugerahkan Allah Swt kepada kita hari ini benar-benar dapat digunakan dengan benar, mendekatkan orang jauh dan mempermudah dalam menggali ilmu, bukan merusak tali silaturrahmi dengan menshare berita yang belum diketahui kebenarannya. Semoga!
Tgk. H. Nuruzzahri (Waled Samalanga), pimpinan Dayah Ummul Ayman Samalanga, Ketua Mustasyar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), dan pendiri STIS Ummul Ayman Pidie Jaya, Aceh.
Sumber : aceh.tribunews.com
0 komentar:
Post a Comment